Minggu, 23 Maret 2014

Kisah Nyata Pemuda Ahli Tauhid Pemberani Yang Diceritakan Rasulullah SAW

Kisah Nyata Pemuda Ahli Tauhid Pemberani Yang Diceritakan Rasulullah SAW

Kisah Nyata - Sebuah kisah yang bukan sekedar dongeng semata, tapi sebuah kisah nyata yang Allah abadikan dalam al Quran:

قُتِلَ أَصْحَابُ الْأُخْدُودِ النَّارِ ذَاتِ الْوَقُودِ إِذْ هُمْ عَلَيْهَا قُعُودٌ وَهُمْ عَلَىٰ مَا يَفْعَلُونَ بِالْمُؤْمِنِينَ شُهُودٌ

“Binasa dan terlaknatlah orang-orang yang membuat parit, yang berapi (dinyalakan dengan) kayu bakar, ketika mereka duduk di sekitarnya, sedang mereka menyaksikan apa yang mereka perbuat terhadap orang-orang yang beriman.” (QS Al Buruuj: 4-6)

Dan inilah kisah tersebut diceritakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

“Ada seorang raja yang berkuasa sebelum kalian. Dia mempunyai seorang tukang sihir. Ketika tukang sihirnya semakin tua dia berkata kepada raja: “Aku sudah tua, oleh karena itu utuslah seorang anak muda supaya aku ajarkan sihir kepadanya”.  Maka dibawalah seorang anak muda untuk diajar ilmu sihir. Di tepi jalan yang biasa dilalui oleh anak muda itu ada seorang rahib. Suatu ketika anak muda itu duduk dan mendengarkan ajaran rahib tersebut. Maka setiap kali dia berangkat ke rumah tukang sihir, dia akan singgah ke rumah rahib dan duduk sejenak di sana. (Satu kali) kerana terlambat, ketika dia sampai di rumah tukang sihir, tukang sihir itu memukulnya. Anak muda itu pun mengadukan keadaannya kepada rahib. Rahib memberi pesan: “Jika kamu takut kepada tukang sihir, katakan kepadanya bahwa keluargamu membuatmu terlambat. Dan jika kamu takut kepada keluargamu, katakan kepada mereka bahwa tukang sihir itu membuat kamu terlambat.”

Begitulah keadaannya sehingga satu ketika di mana anak muda itu mendapati orang-orang ketakutan karena seekor binatang buas yang menghalangi jalan mereka. Anak muda itu berkata: “Hari ini akan aku ketahui siapa yang sebenarnya lebih baik, tukang sihir atau rahib itu.” Lalu anak muda itu mengambil batu dan berkata: “Ya Allah, jika ajaran si-rahib lebih Engkau cintai daripada si-tukang sihir, maka bunuhlah binatang ini sehingga orang-orang pun dapat bebas kembali.” Kemudian dia melemparkan batu yang digenggamnya. Binatang itu mati dan orang-orang pun bebas seperti sedia kala.

Sesudah itu dia pun menceritakan kejadian itu kepada rahib. Mendengarnya, rahib berkata: “Wahai anakku, hari ini kamu lebih baik dariku. Kamu sudah sampai kepada keadaan seperti yang aku lihat sekarang ini. Satu masa nanti kamu akan dizalimi. Jika itu terjadi janganlah kamu bercerita tentang diriku.” Sejak itu anak muda tersebut mulai mengobati orang sakit kusta, orang yang matanya nyaris buta, dan pelbagai penyakit lain.

Salah seorang teman duduk raja yang telah buta mendengar tentang hal ini dan dia datang kepada anak muda tersebut sambil membawa banyak hadiah dan berkata: “Semua yang ada ini akan aku berikan kepadamu jika kamu sembuhkan diriku.” Anak muda menjawab: “Sesungguhnya aku tidak dapat menyembuhkan siapa pun. Hanya Allah yang menyembuhkan. Jika Anda beriman kepada Allah, aku akan memohon kepada Allah supaya Dia menyembuhkan anda.”

Lalu teman raja itu beriman kepada Allah dan Allah menyembuhkannya. Kemudian dia pergi menghadap raja seperti biasa. Raja bertanya: “Siapakah yang mengembalikan penglihatanmu?” Dia menjawab: “Tuhan-ku.” Rajanya bertanya: “Kamu mempunyai tuhan selain aku?”  Temannya menjawab: “Tuhan aku dan Tuhan kamu adalah Allah.” Maka raja mulai menyiksanya sehingga temannya itu menceritakan berkenaan anak muda tersebut.

Lalu raja memanggil anak muda tersebut dan bertanya kepadanya: “Wahai anakku, ilmu sihirmu sudah dapat menyembuhkan penyakit kusta, buta dan sebagainya.” Anak muda menjawab: “Sungguh aku tidak menyembuhkan siapa pun. Hanya Allah yang menyembuhkan.” Mendengar jawaban tersebut anak muda itu terus disiksa sampai dia menceritakan tentang keberadaan rahib (yang mengajarnya tempo hari). Lalu raja memanggil rahib dan diperintahkan: “Kembalilah dari agamamu (kepada agama aku)!” Rahib menolak perintah tersebut. Maka raja memerintah supaya diambil gergaji lalu digergaji di pangkal kepalanya sehingga putus. Kemudian raja memanggil penasihat dan diperintahkan kepadanya: “Kembalilah dari agamamu (kepada agama aku)!” Penasihat itu juga enggan, lalu digergaji pangkal kepalanya sehingga putus.
Akhirnya dipanggil anak muda dan diperintahkan kepadanya: “Kembalilah dari agamamu (kepada agama aku)!” Anak muda itu turut enggan. Maka raja memerintahkan para pengawalnya: “Bawa anak muda ini ke sebuah bukit, apabila sampai ke puncaknya tawarkan kepada dia untuk kembali dari agamanya (kepada agama aku). Jika dia tetap enggan, maka lemparkanlah ke bawah.” Maka para pengawal membawa anak muda ke bukit. Ketika mendaki, anak muda itu berdoa: “Ya Allah! Dengan cara yang Engkau hendaki, selamatkanlah aku daripada mereka.” Maka bergoyanglah bukit tersebut sehingga para pengawal tersebut jatuh ke bawah. Anak muda berjalan kembali menemui raja. Raja bertanya: “Apa yang dilakukan oleh orang-orang yang membawa kamu?” Anak muda menjawab: “Allah menyelamatkan aku daripada mereka.”
Maka raja memerintahkan para pengawalnya yang lain: “Bawa dia ke tengah lautan, tawarkan kepadanya untuk kembali dari agamanya (kepada agama aku). Jika dia enggan maka tenggelamkanlah dia.” Ketika di bawa ke lautan, anak muda berdoa: “Ya Allah! Dengan cara yang Engkau hendaki selamatkanlah aku daripada mereka.” Maka kapal yang membawa mereka pecah sehingga tenggelam para pengawal (kecuali anak muda). Anak muda kembali menemui raja. Raja bertanya: “Apa yang dilakukan oleh orang-orang yang membawa kamu?” Anak muda menjawab: “Allah menyelamatkan aku daripada mereka.”

Kemudian anak muda menambah: “Sungguh, kamu tidak akan dapat membunuh aku kecuali jika kamu melakukan apa yang aku suruh.” Raja bertanya: “Apakah itu?” Anak muda menjawab: “Kumpulkan semua orang di satu tanah lapang. Salib aku pada sebatang pokok dan ambillah sebilah anak panah dari kantungku. Letakkan ia di tengah-tengah busur dan katakan: “Dengan nama Allah, Rabb-nya anak muda ini” lalu kemudian panahlah aku. Niscaya kamu akan dapat membunuhku.”

Maka raja mengumpulkan semua rakyatnya di tanah lapang. Dia salib lah si anak muda pada sebatang pohon, lalu dia ambil sebilah anak panahnya dan diletakkan pada tengah-tengah busur. Kemudian raja berkata: “Dengan nama Allah, Rabb-nya anak muda ini!” lalu terus memanahnya. Anak panah itu tepat mengenai muka anak muda itu. Dia meletakkan tangannya pada mukanya, lalu meninggal dunia. Orang-orang yang hadir di situ serentak berkata: “Kami beriman kepada Rabb-nya si anak muda. Kami beriman kepada Rabb-nya si anak muda. Kami beriman kepada Rabb-nya si anak muda.”

Seorang penasihat berbisik kepada raja: “Lihatlah, apa yang tuan khawatirkan– demi Allah – kini benar-benar terjadi. Orang-orang telah beriman semuanya (kepada Allah, Rabb-nya si anak muda)!” Setelah itu raja memerintah agar dibuat parit di sekeliling tanah lapang itu. Setelah parit digali, api dinyalakan. Raja berkata: “Siapa yang tidak mau kembali dari agamanya (kepada agama aku), maka lemparkanlah dia ke dalam (parit yang dinyalakan api)!” Atau dikatakan: “Terjunlah ke dalamnya!”

Maka mereka semua (yang beriman kepada Allah) terjun ke dalam parit yang dinyalakan api tersebut. Sampai-sampai ada seorang perempuan yang bersama anaknya dihinggapi rasa ragu sama ada untuk memasukinya atau tidak. Lalu anaknya berkata: “Wahai ibu, bersabarlah! Sesungguhnya ibu berada di atas kebenaran (lalu akhirnya mereka terjun).” (HR Muslim)


Demikian kisah sang pemuda ahli tauhid pemberani ini, semoga kita bisa memetik pelajaran berharga.

CARA SHALAT SAMBIL MENGGENDONG ANAK

CARA SHALAT SAMBIL MENGGENDONG ANAK


Apakah seorang ibu boleh shalat sambil menggendong anaknya?

Jawab:
Fadhilatusy Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullaah menjawab, “Shalat wanita sambil menggendong anaknya tidak apa-apa bila anaknya dalam keadaan suci dan memang butuh digendong karena mungkin anaknya menangis dan bisa menyibukkan si ibu apabila tidak menggendongnya.
Telah pasti kabar yang datang dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menyebutkan beliau pernah shalat sambil menggendong cucu beliau Umamah bintu Zainab bintu Rasulullah. Ketika itu Rasulullah shalat mengimami orang-orang dalam keadaan Umamah dalam gendongan beliau. Bila berdiri, beliau menggendong Umamah dan di saat sujud beliau meletakkannya. Apabila seorang ibu melakukan hal tersebut maka tidak apa-apa, tetapi yang lebih utama tidak melakukannya melainkan jika ada kebutuhan.” (Nurun ‘alad Darb, hlm. 17)


Pertanyaan: Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam shalat sambil menggendong Umamah sebagaimana di dalam Ash Shahih, apakah hal ini secara mutlak atau disyaratkan hendaknya anak itu suci dari kotoran?

Jawaban:
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam shalat dalam keadaan menggendong Umamah. Ini merupakan bentuk kasih sayang terhadap anak-anak dan bayi-bayi. Karena apabila mereka menangis sementara seseorang sedang shalat. Terkadang tangisan mereka menyibukkan dia dari shalatnya. Allah ta’ala berfirman,
“Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam rongganya.” (Al Ahzab: 4)
Demikian pula seorang ibu terkadang tersibukkan dari shalatnya. Namun bilamana dia menggendong anaknya sebagaimana yang diperbuat oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, yaitu apabila dia ruku’ maka dia letakkan anaknya. Dan apabila dia bangkit lalu dia menggendongnya. Maka anak itu menjadi tenang dari tangisannya, sehingga orang yang menjaganya menjadi khusyu’ dalam shalatnya. Dan dia menjadi perhatian terhadap anak tersebut karena rasa kasih sayang kepadanya.
Adapun perkara yang berkaitan dengan syarat suatu kesucian. Bila dia bisa terhindar dari kotorannya, maka tidak mengapa yang demikian. Namun apabila terdapat kotoran padanya, semisal air kencing atau selainnya, maka tidak boleh. Dan kisah Umamah dikemungkinkan bahwa dia dalam keadaan bersih dari najis kencing atau tahi, sebagaimana yang telah disebutkan oleh para ulama rahimahumullah.
(Sumber: Anak Amanah Ilahi karya Asy Syaikh Yahya bin Ali Al Hajuri (penerjemah: Abu Abdurrahman Abdul Aziz As Salafy dan Ummu Abdurrahman), penerbit: Penerbit Al-Husna bekerja sama dengan Al Fath Media, hal. 88-89.)

Bolehkan Membawa Anak Kecil Ke Masjid?

Anak, menurut definisi para ulama fikih adalah orang yang belum mencapai usia baligh. (al-Asybah wan Nadhair, as-Suyuthi, hal. 387)

Pertama, Anak yang sudah mencapai usia tamyiz
Jika anak sudah mencapai usia tamyiz, disyariatkan bagi walinya utk memerintahkan anak agar datang ke masjid. Karena orang tua diperintahkan utk menyuruh anaknya agar melakukan shalat setelah menginjak usia tamyiz. Berdasarkan hadis dari Sabrah radliallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Perintahkanlah anak utk shalat jika sudah mencapai usia 7 tahun, & jika sudah berusia 10 tahun, pukullah mereka (jika tak mau diperintah) agar shalat melaksanakan shalat” (HR. Abu Daud, Turmudzi & dinilai shahih al-Albani)

Hadis ini menunjukkan dua hal penting:

a. Bahwa wali (pengurus) anak kacil yang sudah tamyiz, baik bapaknya, kakeknya, kakaknya, atau orang yang mendapat wasiat utk mengurusinya, mereka mendapatkan tugas dari syariat utk memerintahkan anak kecil agar melaksanakan shalat, & mengajarkan tata cara shalat yang sah, seperti syarat & rukun shalat. Ini berlaku, baik utk anak laki-laki maupun perempuan.
b. Hadis ini menunjukkan diziinkannya seorang anak utk masuk masjid. Karena masjid merupakan tempat pelaksanaan shalat. Si pengurus anak, hendaknya membiasakan anak tersebut utk sering ke masjid, menghadiri shalat jamaah, agar menimbulkan rasa cinta pada ibadah & ketergantungan hati pada masjid.

Kedua, anak yang belum tamyiz
Ada banyak hadis yang menunjukkan bolehnya mengajak anak yang belum tamyiz ke masjid. Diantara dalil tersebut adalah
1. Hadis dari Abu Qotadah al-Anshari mengatakan
“Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat sambil menggendong Umamah binti Zainab binti Rasulillah shallallahu ‘alaihi wa sallam, putri dari Abul ‘Ash bin Rabi’ah. Apabila beliau sujud, beliau letakkan Umamah & jika beliau berdiri, beliau menggendongnya.”
Dalam lafadz yang lain: “Saya melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengimami jamaah, sementara Umamah binti Abil ‘Ash (cucu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam) berada di gendongan beliau” (HR. Bukhari & Muslim)

Hadis ini memberikan 2 pelajaran penting
a. Bolehnya membawa bayi ke masjid, & boleh menggendongnya ketika shalat, meskipun itu adalah shalat wajib. Karena ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menggendong Umamah, beliau mengimami para sahabat.
b. Pakaian bayi & badannya itu suci, selama tak diketahui adanya najis. Anggapan bahwa orang yang hendak shalat tak boleh menyentuh atau menggendong bayi, karena dimungkinkan ada najis di pakaiannya adalah anggapan yang tak berdasar. Prinsip “ada kemungkinan” hanyalah sebatas keraguan yang tak meyakinkan.

2. Hadis dari A’isyah radliallahu ‘anha, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengakhirkan shalat isya, hingga Umar datang memanggil beliau:
نَامَ النِّسَاءُ وَالصِّبْيَانُ
Wahai Rasulullah, para wanita & anak-anak telah tidur. (HR. Bukhari)

Ada dua kesimpulan penting dari hadis ini:
a. Bolehnya mengajak anak ke masjid & mengikuti shalat jamaah. Sebagaimana wanita juga boleh datang menghadiri jamaah. Terutama di waktu malam yang gelap, seperti shalat isya. Karena maksud pemberitaan Umar kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa wanita & anak-anak yang menunggu jamaah shalat isya di masjid, telah tertidur. Inilah yang sesuai dgn makna teksnya. Tidak sebagaimana anggapan sebagian orang bahwa mereka tidur di rumah. Ini adalah anggapan yang tak benar. Karena jika mereka tidur di rumah maka itu sudah menjadi hal biasa, sehingga tak perlu orang semacam Umar radliallahu ‘anhu mengingatkan hal ini kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Diantara ulama yang memahami bahwa tidurnya wanita & anak-anak ini di masjid adalah Imam al-Bukhari. Hadis ini, beliau letakkan di bawah judul bab: tentang wudhunya anak kecil,… & keterlibatan mereka dlm shalat jamaah, hari raya, shalat jenazah, & shaf mereka. Ini menunjukkan bahwa Al Bukhari memahami dari hadis ini, anak-anak tersebut hadir di masjid.
b. Lafadz ‘shibyan’ pada hadis di atas, bentuknya jamak definitif (ada alif lam), sehingga mencakup umum, semua anak, baik besar maupun kecil.

Catatan:

Pertama, tak boleh memindah anak kecil yang sudah menempati shaf

Jika ada anak kecil yang menempati shaf pertama, atau di belakang imam maka tak boleh dipindah, terutama jika sudah tamyiz. Ini merupakan pendapat yang lebih kuat dari dua pendapat ulama. Diantara alasan yang menguatkan hal ini adalah
a. Hadis dari Ibn Umar radliallahu ‘anhuma, beliau mengatakan:
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang seseorang menyuruh pindah saudaranya yang duduk di tempat tertentu, kemudian dia menduduki tempat tersebut. (HR. Bukhari & Muslim)
Hadis ini merupakan larangan tegas utk menyuruh orang pindah dari tempatnya, kemudian dia menduduki tempat tersebut. Dan anak yang sudah tamyiz masuk dlm hukum ini.
Al-Qurthubi mengatakan:
Larangan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam utk menyuruh orang lain pindah dari tempat duduknya, karena orang yang lebih dahulu menempati tempat tertentu, dia memiliki hak utk duduk di tempat tersebut, sampai dia sendiri ingin pindah tanpa dipaksa setelah tujuannya selesai. Seolah-olah dia memiliki hak utk memanfaatkan posisi tersebut, sehingga orang lain tak boleh menghalangi dirinya utk mendapatkan apa yang dia miliki. (al-Mufhim, 5/509)
 b. Mengizinkan mereka utk tetap berada di shaf akan memberikan motivasi kepada mereka utk tetap shalat & datang ke masjid.
Berbeda dgn anggapan sebagian orang bahwa anak kecil harus berada di belakang shaf orang dewasa. Anggapan semacam ini tak sesuai denan kebiasaan para sahabat. Karena andaikan penataan shaf anak kecil harus selalu di belakang shaf orang dewasa, tentunya akan dinukil banyak riwayat dari sahabat & menjadi satu hal yang dikenal banyak orang, sebagaimana posisi shaf wanita yang selalu di belakang. (Hasyiyah Ibn Qosim utk ar-Raudhul Murbi’, 2/341)
Adapun, adanya beberapa riwayat dari sebagian sahabat yang memposisikan anak kecil di belakang maka dipahami dgn dua kemungkinan, pertama, itu merupakan pendapat pribadi beliau, atau kedua, karena anak itu tak paham shalat yang baik, sehingga bergurau ketika shalat. (al-I’lam bi Fawaid Umdatil Ahkam karya Ibnul Mulaqin, 2/533)
Bagaimana dgn hadis dari Ibn Mas’ud radliallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda:
“Hendaknya orang yang berada di belakangku adalah orang dewasa yang berakal, kemudian orang tingkatan berikutnya, kemudian berikutnya.” (HR. Muslim)
Hadis ini tidaklah melarang utk menempati shaf pertama & memposisikan mereka di shaf belakang. Hadis hanya menganjurkan agar para ‘ulul ahlam wan nuha‘ yaitu orang yang lebih pandai (dalam agama) utk menempati shaf awal, berada di belakang imam. Sehingga bisa mengingatkan imam ketika lupa atau menggantikan posisi jika dia batal. Andaikan maksud hadis adalah melarang anak kecil utk berada di depan, seharusnya lafadzkan: “Tidak boleh berada di belakangku kecuali ….” (as-Syarhul Mumthi’, 3/10)

Kedua, hadis dhaif yang melarang anak ke masjid
Sebagian orang yang berpendapat bahwa anak-anak tak boleh masuk masjid, berdalil dgn hadis:
“Jauhkanlah masjid kalian dari anak kalian”
Hadis ini diriwayatkan Ibn Majah & at-Thabrani dlm Mu’jam al-Kabir dari jalur al-Harits bin Nabhan, dari Utbah bin Abi Said, dari Makhul, dari Watsilah bin al-Asqa’ radliallahu ‘anhu. Perawi yang bernama Harits statusnya sangat lemah. Berikut keterangan ulama tentang perowi ini:
Al-Bukhari mengatakan: “Munkarul hadis.”
Nasa’i & Abu Hatim menilai orang ini dengan: “Matruk (ditinggalkan).”
Ibnu Main memberikan komentar utk orang ini dgn mengatakan: “Laisa bi Syai’in” terkadang, beliau menyatakan: “Hadisnya tak ditulis.”
Demikian beberapa keterangan yang disampaikan ad-Dzahabi dlm al-Mizan (1/444). Hadis ini memiliki beberapa jalur lain, namun tak ada satupun yang shahih. Keterangan selengkapnya ada di Nashbur Rayah (2/491).

Ketiga, dibolehkan membuat shaf dgn anak kecil
Seseorang tak boleh shalat sendirian di belakang shaf, sementara masih memungkinkan baginya utk menempatkan diri pada barisan di depannya. Ini berdasarkan hadis dari Wabishah radliallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat ada seseorang yang shalat di belakang shaf sendirian. Kemudian beliau memerintahkan agar mengulangi shalatnya. (HR. Abu Daud & dinilai shahih al-Albani)
Bagaimana jika membuat shaf bersama anak kecil, apakah sudah bisa dinyatakan telah keluar dari larangan hadis Wabishah di atas?
Dalam hal ini ulama berselisih pendapat. Akan tetapi pendapat yang kuat, dibolehkan utk membuat shaf dgn anak kecil. Ini merupakan pendapat mayoritas ulama. Diantara dalil yang menunjukkan hal ini adalah hadis dari Anas bin Malik radliallahu ‘anhu, beliau menceritakan:
Neneknya, Mulaikah radliallahu ‘anha, pernah mengundang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam utk makan di rumahnya. Setelah selesai makan, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Bersiaplah, mari saya imami kalian utk shalat berjamaah.” Anas mengatakan: Kemudian aku siapkan tikar milik kami yang sudah hitam karena sudah usang, & aku perciki dgn air. Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat & ada anak yatim bersamaku (dalam satu shaf), & wanita tua di belakang kami. Beliau mengimami shalat dua rakaat. (HR. Bukhari & Muslim)

Hadis ini dalil bolehnya orang yang sudah baligh membuat shaf dgn anak kecil. Karena Anas bin Malik radliallahu ‘anhu shalat di belakang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama seorang anak yatim. Sementara anak yatim adalah anak yang ditinggal mati bapaknya & dia belum baligh.
Allahu a’lam
(Penyusun: Ustadz Ammi Nur Baits. Disarikan & disusun ulang dari risalah: Hudhurus Shibyan al-Masajida, karya Dr. Abdullah bin Sholeh al-Fauzan hafidzahullah (alfuzan.islamlight.net)